Seminar Lintas Iman Hidupkan Harapan Baru Perlindungan Perempuan

Upaya memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak kembali disuarakan melalui seminar lintas agama yang digelar Kementerian Agama, FKUB, PGIS, dan Gabungan Organisasi Wanita di Aula Husni Hamid, Senin (25/11/2025). Kegiatan ini mempertemukan peserta dari enam agama untuk membahas praktik pencegahan kekerasan berbasis gender.

Seminar tersebut menjadi ruang dialog penting bagi tokoh-tokoh agama dalam menyatukan pandangan mengenai kekerasan seksual, isu yang masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah. Para pembicara menekankan pentingnya pendekatan lintas iman untuk memperkuat edukasi dan kesadaran publik.

Bupati Karawang, Aep Saepulloh, mengapresiasi kegiatan tersebut sebagai bagian dari rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Ia menilai Karawang memiliki banyak sumber daya manusia yang peduli pada isu perlindungan perempuan.

Aep menegaskan bahwa pencegahan kekerasan tidak cukup mengandalkan regulasi. Menurutnya, diperlukan konsistensi program dan kolaborasi jangka panjang antara pemerintah dan organisasi keagamaan.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kegiatan seperti ini memperkaya cara pandang kita dalam memahami persoalan kekerasan berbasis gender,” ujarnya.

Ketua Pelaksana Seminar, Pendeta Daniel, menilai forum lintas agama memberi kesempatan bagi peserta untuk memahami kekerasan seksual dari berbagai perspektif ajaran. Ia menekankan bahwa semua agama secara prinsip menolak praktik kekerasan dalam bentuk apa pun.

Menurut Daniel, seminar ini juga menjadi langkah awal menuju kampanye publik pada 29 November mendatang, yang diharapkan dapat menjangkau masyarakat lebih luas. Ia menegaskan bahwa edukasi pencegahan tidak boleh berhenti pada ruang diskusi tertutup.

“Pesan ini harus sampai kepada masyarakat, tidak hanya kepada peserta seminar,” tuturnya.

Dalam sesi berikutnya, Pendeta Agus menyoroti pentingnya penafsiran ajaran agama secara tepat agar tidak melahirkan pembenaran terhadap praktik kekerasan. Ia menegaskan bahwa setiap ajaran agama mengatur perilaku manusia dan tidak pernah melegitimasi kekerasan terhadap perempuan maupun anak.

Ia menambahkan bahwa kebutuhan melakukan tafsir ulang bukan berarti mengubah makna kitab suci, melainkan memastikan pemahaman yang relevan dengan konteks modern dan tetap selaras dengan nilai kemanusiaan.

Menurutnya, tokoh agama memegang peran penting dalam membangun budaya anti-kekerasan melalui pesan-pesan moral yang disampaikan secara konsisten di tempat ibadah. Pendekatan ini diyakini mampu membentuk kesadaran jamaah dan memperkuat empati terhadap korban.

Pendeta Agus juga mendorong para pemuka agama untuk terlibat aktif dalam program edukasi di sekolah, komunitas, hingga kelompok keluarga. Ia menilai pendekatan dialogis dan humanis dapat membuka ruang pemahaman yang lebih luas, terutama bagi masyarakat yang masih memegang tafsir konservatif yang kerap disalahgunakan.

“Tugas kita adalah memastikan bahwa ajaran agama menjadi pelindung, bukan pembenaran bagi kekerasan,” tegasnya.

Dari perspektif Islam, Ketua Aisyiyah Karawang, Umi, menyampaikan bahwa kedudukan perempuan telah ditegaskan dalam Al Quran melalui sejumlah surah, seperti Al-Baqarah, An-Nisa, dan Maryam. Menurutnya, ajaran Islam menekankan relasi suami istri yang setara, tanpa superioritas satu pihak atas pihak lain.

Umi mengingatkan bahwa pemahaman agama yang keliru berpotensi melanggengkan kekerasan, sehingga edukasi dan dialog lintas komunitas menjadi langkah strategis.

Wakil Ketua FKUB Karawang, Dr. H. Masykur, menegaskan kembali bahwa seluruh ajaran agama melarang kekerasan seksual. Ia mendorong umat Islam untuk menjaga diri, termasuk menahan pandangan dan menikah ketika telah siap, sebagai langkah preventif untuk menghindari perbuatan yang menimbulkan fitnah.

Ia berharap kolaborasi lintas iman ini dapat memperkuat komitmen bersama dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial.

Seminar lintas agama tersebut ditutup dengan seruan bahwa pencegahan kekerasan merupakan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.

Kerja sama pemerintah, lembaga agama, dan organisasi perempuan disebut menjadi fondasi penting untuk melindungi kelompok rentan..