Santri Turun ke Jalan, Melakukan Aksi Unjuk Rasa, Ketika Lelucon Televisi Berisikan Sara Yang Dapat Memecah Belah Umat

KARAWANG |JagatNusantara.co.id|
Jumat siang, 17 Oktober 2025, para santri dari berbagai pondok pesantren di Karawang bergerak ke jalan. Mereka datang dalam barisan rapi, bersarung, berpeci, dan bersuara satu: menuntut penghormatan terhadap marwah ulama dan pesantren.

Pemicu kemarahan itu bukan soal politik atau harga beras. Ia bermula dari tayangan “Xpose Uncensored” di Trans7 edisi 13 Oktober 2025, sebuah program televisi yang, menurut mereka, telah melecehkan simbol-simbol kesantrian dan keulamaan.

Di bawah bendera Aliansi Pusaka (Persatuan Umat & Santri Karawang), para santri menuntut klarifikasi dan permintaan maaf terbuka dari pihak stasiun televisi.

“Ulama, santri, dan pesantren bukan sekadar institusi pendidikan. Mereka adalah tiga pilar sejarah Islam di Indonesia,” tegas Dadi Mulyadi, S.H., Koordinator Aliansi Pusaka.

Sejak Islam menjejak di Nusantara, pondok pesantren menjadi pusat dakwah, pendidikan, dan peradaban. Dari masa penjajahan hingga kemerdekaan, pesantren bertransformasi menjadi benteng pertahanan kebudayaan dan nilai-nilai kebangsaan.

“Mereka tidak bergantung pada pemerintah kolonial, tapi tetap berjuang mempertahankan jati diri bangsa,” kata Dadi.

Kini, di tengah era digital yang riuh dan sering kehilangan arah moral, pesantren masih berdiri tegak, dengan kitab, adab, dan sanad keilmuan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Namun bagi sebagian orang yang hanya mengenal dunia lewat layar, kesederhanaan dan kedalaman ilmu santri justru dianggap kuno dan tidak relevan.

Dadi mengakui, di era 4.0 dan ledakan kecerdasan buatan, umat manusia menghadapi perubahan besar. Informasi datang secepat kilat, tapi kebenaran jadi kabur. "Kita menjadi budak algoritma,” katanya.

“Kita menganggap semua yang viral itu benar, sementara yang lahir dari sanad dan keilmuan dianggap usang.” tandasnya.

Teknologi yang seharusnya menjadi alat pencerahan, kata Dadi, justru dijadikan sebagian pihak sebagai sarana propaganda, menyebar kebencian, menebar fitnah, dan menstigma ulama serta santri.

“Fenomena seperti tayangan Trans7 ini bukan sekadar kesalahan editorial,” ujarnya. “Ini alarm moral, tanda bahwa umat sedang berada di persimpangan jalan antara iman dan kebingungan.”

Di antara orasi dan poster, para santri juga melantunkan shalawat. Mereka datang bukan untuk amarah semata, tapi juga membawa harap: agar Hari Santri yang segera tiba, tidak ternoda oleh luka. “Kami bukan mencari sensasi,” kata Dadi.

“Kami datang dengan niat menjaga marwah ulama, warisan para nabi. Ini bukan tentang marah, tapi tentang cinta."

Santri, katanya lagi, akan tetap menjadi tulang punggung agama, bangsa, dan negara. Dan pesantren, dengan segala kesederhanaannya, akan terus relevan, melahirkan generasi yang berilmu sekaligus berakhlak.

Di ujung aksi, langit Karawang mulai teduh. Di antara ribuan santri yang berbaris pulang, tersisa gema doa yang lirih:

“Semoga langkah ini menjadi saksi di hadapan Rasulullah, bahwa kami tidak berpaling dari ulama.”

(Gumilar)