Kasus ini terjadi di lingkungan PT Unicorn handbag Factory, di mana dua orang pekerja, Narim dan Rusmini, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh pihak perusahaan. Alasan yang digunakan manajemen adalah karena keduanya dianggap tidak mencapai target kerja yang telah ditetapkan.
Namun, keputusan tersebut diambil tanpa adanya pembinaan, evaluasi kinerja, atau teguran resmi sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mewajibkan pengusaha untuk melakukan pembinaan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan PHK karena alasan kinerja.
Situasi ini semakin serius karena salah satu pekerja, Narim, merupakan penyandang disabilitas. Ia telah lama bekerja dan menunjukkan loyalitas tinggi kepada perusahaan. PHK sepihak terhadap dirinya tidak hanya menyalahi aturan ketenagakerjaan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi terhadap penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam Pasal 5 dan Pasal 11 UU tersebut ditegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak atas kesempatan kerja yang setara, perlakuan yang adil, serta perlindungan dari diskriminasi, sementara Pasal 53 ayat (1) mewajibkan perusahaan mempekerjakan paling sedikit 1% tenaga kerja penyandang disabilitas dari total pekerja.
Menanggapi tindakan PHK tersebut, Serikat Buruh PT Unicorn handbag factory yg Disingkat SBMU segera mengambil langkah penyelesaian melalui perundingan bipartit. Namun, baik perundingan bipartit pertama maupun kedua berakhir deadlock, karena perusahaan menolak mengakui kesalahan prosedural dan tetap mempertahankan keputusan PHK.
Karena tidak tercapai kesepakatan, serikat pekerja melanjutkan proses sesuai mekanisme hukum dengan mengajukan pencatatan perselisihan hubungan industrial ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Karawang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Disnaker Karawang kemudian memfasilitasi proses mediasi antara kedua pihak. Dua kali pertemuan awal juga berakhir tanpa hasil. Melihat kebuntuan tersebut, serikat pekerja bersama Federasi Buruh Kerakyatan (FBK) menggelar aksi massa damai di depan kantor Disnaker Karawang sebagai bentuk solidaritas terhadap Narim dan Rusmini serta desakan moral kepada perusahaan agar membuka kembali ruang dialog.
Aksi solidaritas tersebut menjadi titik balik dari proses panjang penyelesaian perselisihan. Dalam mediasi ketiga yang difasilitasi oleh Disnaker Karawang, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama (PB).
Isi pokok dari PB tersebut menyatakan bahwa:
“Pihak perusahaan bersedia mempekerjakan kembali saudara Narim setelah hasil pemeriksaan kesehatan (Medical Check Up) menunjukkan kondisi yang baik.”
Kasus PT Unicorn handbag factory ini menjadi contoh konkret bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui mekanisme dialog sosial, hukum, dan mediasi yang konstruktif. Kasus ini juga menunjukkan pentingnya peran aktif serikat pekerja dan federasi buruh dalam mengawal proses advokasi terhadap pelanggaran hak pekerja.
Dari sisi hukum, kasus ini menegaskan bahwa alasan PHK karena kinerja tanpa pembinaan bertentangan dengan ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan. Dari sisi sosial, kasus ini mengandung nilai penting tentang keadilan dan inklusivitas bagi penyandang disabilitas di dunia kerja.
Melalui perjuangan panjang yang dilakukan secara kolektif, akhirnya tercipta penyelesaian yang adil dan bermartabat. Kasus Narim dan Rusmini di PT Unicorn handbag factory menjadi pembelajaran berharga bahwa solidaritas pekerja, keberanian bersuara, serta komitmen terhadap mekanisme hukum dapat menghadirkan keadilan nyata di lingkungan industri.