KARAWANG |JagatNusantara.co.id|
Menjadi jurnalis adalah pilihan yang tidak mudah. Pekerjaan ini tak pernah mengenal batas waktu. Siang atau malam, hujan atau panas, di kota atau pelosok desa, jurnalis harus selalu siap ketika panggilan tugas datang. Sebab berita tak bisa menunggu.
Ada kebanggaan tersendiri saat tulisan atau liputan yang dibuat mampu membuka mata banyak orang. Ketika sebuah fakta yang nyaris tersembunyi akhirnya terungkap, atau suara mereka yang selama ini tak terdengar bisa sampai ke publik, jurnalis merasa perjuangannya tak sia-sia. Ada kepuasan batin yang tak bisa diukur dengan materi: kepuasan karena telah menjalankan amanah sebagai penyampai kebenaran.
Namun, di balik itu semua, ada pengorbanan yang jarang terlihat. Jurnalis sering kali harus meninggalkan keluarga di saat momen berharga, melewatkan waktu istirahat, bahkan mempertaruhkan keselamatan diri. Tak jarang, di balik layar sebuah berita, ada kisah kelelahan, tangisan yang ditahan, dan rasa rindu yang tak terucapkan.
Saat bencana melanda, ketika banyak orang memilih menghindar demi keselamatan, justru jurnalislah yang datang mendekat. Mereka menembus hujan, lumpur, dan reruntuhan hanya untuk memastikan kabar bisa tersampaikan. Mereka bukan sekadar pencatat peristiwa, tetapi juga saksi sejarah yang merekam jejak kehidupan, agar dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Begitulah suka duka seorang jurnalis di lapangan. Hidup dalam ketidakpastian waktu, penuh tantangan, tapi juga sarat makna. Meski tubuh lelah dan langkah terkadang goyah, hati mereka selalu terikat pada satu hal: tanggung jawab menyampaikan kebenaran.
Karena bagi seorang jurnalis, berita bukan sekadar tulisan. Ia adalah napas perjuangan, suara rakyat, dan cermin kehidupan.
( Romidah )